Pengamat : Bukan Tidak Mungkin Pemilu 2024 Jadi Kuburan Bagi Parpol Baru

LUBUKLINGGAU – Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membuka pendaftaran partai politik calon peserta Pemilu 2024 pada 1 Agustus 2022. Informasi terakhir, KPU dari Kementerian Hukum dan HAM, saat ini ada 75 partai politik yang berbadan hukum dan berhak mendaftar jadi peserta pemilu.

Kalaupun nanti semuanya lolos, partai baru akan mewarnai pesta demokrasi 2024 mendatang. Lalu seberapa besar peluang parpol baru nanti mampu menarik hati pemilih.

Pengamat politik, Eka Rahman ketika dimintai tanggapan perihal ini mengatakan secara umum, integritas dan keberadaan partai politik baru akan sangat tergantung pada bagaimana di level nasional parpol tersebut mampu lolos melalui verifikasi sebagai partai politik dari kementerian hukum dan HAM serta nantinya juga lolos dalam verifikasi sebagai peserta pemilu 2024 yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Karena nantinya include dalam verifikasi itu adalah berbagai syarat administrasi pokok sebagai parpol maupun peserta pemilu seperti, minimal keanggotaan, kepengurusan dari tingkat pusat sampai daerah, sebaran kepengurusan dan seterusnya.

“Setelah lolos kedua verifikasi itu baru kita bisa berbicara tentang proyeksi dan peluang parpol tersebut dalam pemilu terutama pemilu di daerah,” ujarnya.

Sampai saat ini, setidaknya ada 6 parpol baru yang telah terdaftar dan mendapat pengesahan dari Kemenkumham yaitu : Partai Gelora, PKN, Partai Ummat, Prima, Partai Rakyat, Partai Mahasiswa, dan Pelita untuk mendampingi 14 parpol lain sebagai kontestan dalam pemilu 2019 lalu.

Secara umum, keberadaan parpol parpol ini sebenarnya tidak menawarkan kebaruan dalam dinamika parpolĀ  maupun terhadap pemilih, apalagi menjawab kebutuhan masyarakat pemilih akan parpol yang ideal sebagai saluran aspirasi. Kemunculan beberapa parpol justru akibat friksi internal serta respon terhadap dinamika internal parpol tersebut, sebutlah Partai Ummat misalnya adalah merupakan imbas dari friksi internal PAN, sehingga Amin Rais menggagas pembentukan Partai Ummat. Lalu Partai Gelora, lebih dominan di inisiasi oleh para Kader PKS sebagai respon konflik internal mereka. Demikian juga PKN, yang di motori oleh loyalis Anas Urbaningrum terkait konflik internal Partai Demokrat. Artinya, keberadaan parpol baru, lebih pada impact friksi internal sebuah parpol dalam akumulasi kekuasaan dibanding sebagai manifestasi alternatif atas kebutuhan para pemilih terhadap kondisi parpol yang telah ada.

Sisi lain adalah, meskipun parpol baru muncul, namun anatomi parpol tersebut tidak jauh berbeda dengan mayoritas parpol yang ada untuk menggantungkan diri pada figur sentral pendiriĀ  ketimbang platform yang diusung.

Maka tak heran jika melihat dominasi Amin Rais di Partai Ummat, tak jauh beda dengan saat figur ini ada di PAN. Lalu bagaimana juga figur Anas Urbaningrum membayangi decision making PKN. Tak ada bedanya dengan hubungan ‘Patron-Klien’ antara SBY dengan Partai Demokrat, Prabowo Subianto dalam relasi dengan Gerindra, Surya Paloh dengan Nasdem. Megawati dengan PDIP. Hanya beberapa parpol yang memiliki figur merata dan tidak dominan dalam pengambilan keputusan dalam parpol. Tentu kondisi seperti itu bukanlah tipikal parpol modern yang di butuhkan sebagai problem solving bagi kondisi bangsa dan masyarakat.
Belum lagi pemanfaatan politik aliran oleh parpol – parpol tertentu sebagai bagian dari instrumen branding parpol di mata publik, patut untuk mendapat perhatian karena unproductive terhadap pendewasaan demokrasi.

Melihat kondisi seperti itu, tentu menjadi agenda besar bagi banyak pihak untuk men-trigger proses pendewasaan politik parpol.

Lalu bagaimana masa depan parpol baru, terkait pemilu 2024 ? Karena lemah dalam platform, maka jalan pintas konsolidasi parpol di daerah tidak fokus pada recruitment kader internal. Namun lebih pada mengambil figur/tokoh lokal yang telah jadi untuk menjadi pengurus/caleg bagi parpol tersebut di daerah.

Sehingga transfer visi, misi serta ideologi awal parpol bukan lagi menjadi skala prioritas.

“Akibatnya kita lihat, banyak sekali ‘kader kutu loncat’ yang pindah dari parpol satu ke parpol lain, untuk melihat peluang keterpilihan,” terangnya.

Meskipun faktanya, pada tingkat lokal (daerah), faktor figur caleg sama (atau bahkan dalam banyak hal lebih) penting di banding parpol dimana dia terdaftar sebagai caleg. Sehingga, dimana pun dia menjadi caleg, suara pemilih akan terbawa pada figur yang bersangkutan, di banding parpolnya.

Namun sebagai catatan, data pemilu sebelumnya, untuk daerah Mura, Lubuklinggau, Muratara sangat sulit bagi parpol baru untuk meraih kursi legislatif. Kita lihat saja produk pemilu 2019 di legislatif, nyaris di isi parpol yang telah mapan dan berpengalaman dalam pemilu. Secara teknis mungkin sebagai akibat dari jarangnya legislator mendapat kursi melalui Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP), mayoritas dapat kursi dari akumulasi suara caleg dapil yang di jumlahkan dan menjadi rangking. Pada saat yang sama metode sainte lague di sinyalir menguntungkan parpol besar.

“Secara ringkas, saya menyatakan agak sulit bagi parpol baru di daerah untuk meraih kursi karena mereka harus membagi fokus melakukan 2 kerja yang sama menghadapi pemilu ,membentuk struktur kepengurusan/caleg dan bersosialisasi pada pemilih. Kecuali parpol baru beruntung mendapat figur tokoh lokal yang benar – benar popular, memiliki kemampuan logistik yang kuat.Bukan tidak mungkin bahkan, pemilu 2024 justru menjadi ‘kuburan’ bagi beberapa parpol baru yang tak mampu berkompetisi,”pungkasnya.(BI)

error: fuck you not copy!!!