POLITIK- Masih lama memang, meskipun begitu, situasi politik selalu menjadi topik hangat yang diperbincangkan dalam setiap waktu.
Terbaru, tersiar kabar desas-desus, sudah ada beberapa elit politik yang akan berpindah partai untuk kembali mengikuti pesta demokrasi di pemilihan legislatif 2024.
Meski baru sebatas kabar, Bintang Informasi mendapatkan informasi cukup mengejutkan, karena beberapa nama elit politik ini cukup populer ditengah masyarakat.
Tidak hanya di Kota Lubuklinggau, tetapi ada juga dari Kabupaten tetangga seperti di Muratara maupun Musi Rawas.
Perihal ini, Bintang Informasi meminta tanggapan Pengamat Politik Eka Rahman terkait pindah partai dilakukan elit politik dan konsekuensinya dalam perpolitikan di tanah air.
Eka menjelaskan secara subtansif tak ada yang melarang seseorang untuk secara sadar memilih bergabung dan menjadi kader 1 parpol meski dia telah menjadi kader parpol lain.
Menurut Suami Yulianti ini, UU Partai Politik No. 2/2009 yang kemudian diubah menjadi UU No. 2/2011 pun, tak ada yang mengatur hal tersebut, karena idealnya ketergabungan seseorang dalam satu parpol dilandasi kesamaan ideologi, visi, misi dan platform.
Namun dalam tataran praktek politik, cara berparpol saat ini memang tidak lagi di dominasi oleh motif-motif ideal sebagaimana disebut diatas, namun lebih kepada kepentingan parsial, sesaat dan kental dengan nuansa perebutan ‘kursi kuasa’.
“Pilihan ketergabungan terhadap salah satu parpol, lebih pada bagaimana peluang merebut akses kekuasaan (legislatif/eksekutif) dalam satu parpol dibanding parpol lain,”terangnya.
Oleh karenanya, saat tidak terpilih menjadi legislator di satu parpol, periode berikutnya dia mencoba dari parpol lain, atau saat di PAW dari satu parpol maka dia akan berpindah ke parpol lain. Meski tak semua parpol memang, ada sebagian kecil parpol kader yang memang memiliki ideologi/platform yang jelas.
“Saya sepakat, bukan saja signal, namun saat ini telah banyak kader parpol yang saling berpindah. Misalnya, tatkala dominasi kekuasaan Sumsel dari legislator DPR, Gubernur, Bupati, terafiliasi Partai Nasdem. Maka, banyak figur yang ingin bergabung ke Partai NasdemNasdem,”akunya.
Dengan basis analisis diatas, tentu hal ini adalah ‘gejala yang lumrah’ tentang kalkulasi peluang parpol mana yang lebih besar untuk menggapai ‘mimpi kekuasaan’-nya. Walaupun, dari teori politik dan demokrasi yang sehat tentu kondisi ini tidak ideal.
Pertanyaan, apa penyebab loncat pagar saat ini sebenarnya lebih pada pilihan pada parpol mana peluang seseorang untuk meraih ambisi, tujuan dan libido politiknya, baik di eksekutif maupun legislatif. Meski tentu tak menutup ada sebagian kecil yang berpindah parpol atas dasar dan motif ideologis serta platform.
Apakah konsekwensi dari praktek ‘loncat pagar’ bagi sosok politikus/elit politik. Tentu secara minimal ada, misalnya, publik (pemilih – terutama media massa) akan menjulukinya sebagai ‘kutu loncat’, sebuah gelar yang berkonotasi negatif. Tapi siapa yang peduli? Jika dia meraih jabatan politik, pemilih masih tetap menghargainya dan mendapat tempat/penghargaan pada sebuah status sosial.
Dibandingkan, jika dia tetap konsisten pada satu parpol, namun tak pernah terpilih dalam kontestasi pemilu/pilkada. Kenyataannya, publik akan lebih menghargai ‘status politik sebagai pejabat, di bandingkan dengan status ‘kader loyalis’ sebuah parpol.
Intinya, mayoritas motif loncat pagar lebih karena persoalan peluang dalam mengakomodir saluran ‘nafsu kuasa’. Jika demikian, dimana kepentingan publik (masyarakat).
“Ini tahun 2021, membela kepentingan umum/khalayak hanyalah jargon heroik dalam kampanye bagi sebagian besar parpol. Skala prioritas utama orang berparpol saat ini, baik ditingkat lokal maupun nasional tentu adalah bagaimana meraih secara mudah kepentingan- kepentingan individu dan kelompoknya,”terang Eka. (01)