LUBUKLINGGAU- Dalam politik tidak ada yang tidak mungkin, popularitas dan elektabilitas seseorang belum menjadi jaminan mendapatkan peluang untuk maju sebagai bakal calon.
Apalagi, sampai jumawa dan berpikir, ketika menjadi Ketua Partai Politik/Anggota DPRD memiliki peluang besar mendapatkan dukungan untuk diusung.
Last minute (detik penentuan) bisa berubah, ketika pemilik modal, atau bahasa kerennya saat ini “Sang Sultan” dengan dana tak terbatas mampu melakukan lobi-lobi ditingkat pusat untuk mendapatkan perahu.
Ketika ditanyai, bisakah kemungkinan ini terjadi, Pengamat Politik Eka Rahman menjelaskan uang memang saat ini menjadi salah satu faktor dominan dalam perpolitikan, terutama pemilu/pilkada.
Meski sebenarnya efektivitas politik uang sebagai motif orang untuk memilih. Eka mengutip apa yang disampaikab Burhanudin Muhtadi dalam buku : Kuasa Uang, hanya berkisar 10 persen. Para pemilih tetap saja memilih ‘orang baik’.
Celakanya definisi orang baik sudah bergeser. Bukan lagi orang jujur, rajin, perhatian, dst, namun lebih pada orang yang bisa membantu secara materi atau yang bisa di konversi secara materi.
Dalam kaitan pertanyaan : apakah sponsor politik bermodal atau istilah ‘ Sultan’ bisa memupus mimpi seseorang/ketua parpol untuk ikut kontestasi pilkada ? Beberapa tahun terakhir ini ada pergeseran penurunan minat para ‘Sultan’ untuk melakukan investasi dalam bidang politik – khususnya pilkada. Hal ini di latari oleh.
1. Kenyataan bahwa pasca terpilih, sponsor tidak dapat secara dominan mengatur kebijakan para kepala daerah terpilih untuk memberi konsesi margin kekuasaan bagi kepentingannya dengan berbagai alasan seperti : prosedur birokrasi, HAN, dst. Singkatnya, komitmen kepala daerah terpilih tak lagi dapat di pegang untuk memberi margin bagi bisnis sang ‘Sultan’.
“Toh, tanpa harus melakukan ‘investasi politik pra pilkada’, jika seorang sponsor paham “aturan main” mereka akan tetap dapat pekerjaan dari kepala daerah terpilih. Artinya ada kecenderungan, lebih baik menunggu siapa yang menang baru melakukan political approach,”terang Eka.
2. Selama ini yang menjadi ‘alat tukar dan ikatan’ dominan dari perselingkuhan para Sultan dan politikus lokal adalah konsesi kegiatan/proyek. Namun dengan menguatnya peran pengawasan aparatur penegak hukum (KPK, Jaksa, Polisi), mass media, medsos maupun NGOs serta tuntutan transparansi, good and clean government. Maka ruang ‘perselingkuhan’ itu menjadi sempit, dan tidak menguntungkan dari segi bisnis untuk melakukan investasi.
3. Setidaknya dalam 2 tahun terakhir pandemi Covid-19 menjadikan iklim ekonomi melemah dan menimbulkan ketidak pastian. Refocusing 25 persen anggaran untuk penanganan Covid-19 memperkecil porsi alokasi budget pembangunan. Di sisi lain, belum dapat di prediksi secara pasti kapan pandemi akan berakhir.
Ketidak pastian ekonomi ini cenderung membuat para investor – termasuk investor politik, lebih memilih untuk berhati hati dan wait and see saat menginvestasikan uangnya.
Dari argumen diatas, saat para ‘investor politik’ melakukan ‘rem’ dalam aktivitas sponsorship pilkada. Fenomena yang terjadi adalah justru “para Sultan’ lah yang terjun untuk ikut dalam kontestasi pilkada.
Inilah yang bisa menjelaskan bagaimana masuknya ‘Sultan Baru’ ke ruang politik.
“Meski sebenarnya ini gejala lama, jika kita mengamati perjalanan politik Prana Sohe, Devi Suhartoni, Akmaludin Mustafa, dst. Mereka memulai dari penguatan basis ekonomi dulu, baru terjun ke politik. Bukan sebaliknya, politik menjadi alat untuk penguatan basis ekonomi,”jelas Eka.
Gejala masuknya ‘para Sultan’ ke ruang politik menggeser peluang para birokrat lokal maupun para ‘politikus murni’ terkait potensi keterpilihan dalam pilkada. Meski tak semua gejala seperti itu, masih ada ruang bagi para politikus dan birokrat yang memiliki ‘kelebihan’ serta mengakar di basis pemilih untuk maju dan terpilih, namun secara umum kecenderungan politik lokal mengarah ke sana.(01)