MUSI RAWAS – Tidak hanya Kota Lubuklinggau yang menjadi magnet (daya tarik) peta perpolitikan menjelang pemilu 2024. Kabupaten Musi Rawas sebagai daerah tetangga juga memiliki daya tarik cukup kuat bila berbicara siapa selanjutnya yang akan memimpin kabupaten berslogan lan serasan sekentenan tersebut.
Masyarakat sudah mulai mentafsir siapa yang bakal maju, bagaimana situasi ketika terjadi pertarungan incumbent, siapa bakal pasangan calon nantinya. Kemudian sekuat apa kekuatan para incumbent dan dukunganya. Pertanyaan pertanyaan seperti ini sudah ada dalam benak masyarakat Musi Rawas.
Bintang Informasi mencoba mewancarai pengamat politik Eka Rahman untuk memberikan pendapat terkait pertanyaan pertanyaan-masyarakat saat ini.
Dalam penjelasannya, Eka mengatakan Pertama, jika melihat ada review publik terhadap kepemimpinan Hj. Ratna Machmud – Hj. Suwarti (RMS) ada yang menilai relatif berhasil (dan berpeluang untuk periode ke-2), sebaliknya ada yang menilai belum maksimal.
Hal tersebut merupakan bagian dari ‘persepsi public’ dengan basis kepentingan masing-masing, artinya penilaian tersebut masih subjektif berdasarkan kepentingan.
Misalnya : para pendukung, birokrat yang sedang menjabat atau yang ‘terbagi kue kebijakan’ incumbent akan menilai secara positif, pun demikian sebaliknya.
Untuk mendapatkan penilaian yang objektif memang di butuhkan studi/survey oleh lembaga yang kredibel atau perguruan tinggi seperti Unsri, Unmura, Univbi, dan lain-lain. Tentu saja dengan metodologi, sistematika dan indicator yang objektif serta rigid tentang tolok ukur berhasil/tidak berhasil pemerintahan RMS selama ini, sehingga ukurannya dapat dipahami oleh publik.
Sebagai contoh beberapa waktu lalu ada pejabat yang menyatakan bahwa prosentase realisasi program unggulan RMS sudah mencapai 75 persen, bahkan sebelum 2 tahun memerintah.
“Saya melihat ini bagian dari ‘klaim sepihak’ dan bagian dari ‘upaya penggiringan opini public’. Karena ada pertanyaan, apakah program unggulan RMS seperti bantuan rumah tahfiz, bantuan pendidikan, atau bantuan kematian itu hanya dilakukan 1 tahun anggaran atau setiap tahun anggaran selama periode kepemimpinan yang lebih kurang 4 tahun? Jika di berikan setiap tahun anggaran, maka tak tepat secara matematis pada tahun ke-2 belum akan mencapai 75%. Sebaliknya jika bantuan tersebut hanya di berikan 1 kali dalam satu periode kepemimpinan, apakah konsep bantuan tersebut seperti itu? Untuk itu, sekali lagi penting untuk mengukur indicator keberhasilan itu secara objektif dan terukur oleh lembaga dan PT yang kredibel,”jelas Eka.
Lalu, kepentingan untuk mengukur keberhasilan RMS adalah melihat sejauh mana peluang petahana melangkah pada periode ke-2 ?
Saya pikir terlalu dini untuk memetakan posisi/peluang petahana, karena hal tersebut juga diukur dari banyak parameter seperti : apa parpol pendukung, siapa pasangan, siapa kompetitor, dan sebagainya.
Namun secara sekilas bahwa sampai saat ini ada 4 figur yang memiliki potensi untuk menjadi kontestan di Pilkada Musi Rawas yaitu sebagai Bacabup yang pasti petahana Hj. Ratna Machmud, tidak logis jika yang bersangkutan maju kontestasi sebagai bacawabup.
Sebagai bupati periode ke-2, yang masa jabatannya di ‘diskon 1 tahun’ – sebagai konsekwensi pilkada serentak 2022 -, sangat lumrah jika membidik periode ke-2.
Pertanyaannya adalah siapa pasangannya kelak dan parpol mana yang menjadi pendukung ? Setidaknya saat ini Partai Nasdem sudah bisa di tafsirkan di sisi petahana.
Bacabup selanjutnya adalah petahana wabup Hj. Suwarti, yang imbas dari pembatasan UU harus ‘naik kelas’ ke posisi bacabup jika ingin berkontestasi.
Dengan back ground tersebut – apalagi beliau adalah Ketua DPC Partai Gerindra maka potensi untuk ikut kontestasi relatif mendukung.
Apalagi dengan deklarasi Prabowo Subianto sebagai capres Gerindra, Hj. Suwarti akan terkena coattail effect (efek ekor jas) dari pergerakan Prabowo sebagai capres. Tinggal kelak, apakah dengan ‘bekal politik’ yang demikian akan punya nyali untuk kontestasi sebagai calon bupati.
Pada sisi lain ada figur Ketua DPRD dari PDIP Azandri dan Waka 1 DPRD Firdaus Ceolah. Azandri dengan prediksi di dukung PDIP, tentu memiliki potensi untuk ikut kontestasi pilkada Mura. Meski harus di tunggu penilaian dari DPP PDIP kelak apakah beliau akan diposisikan sebagai bacabup atau bacawabup. Back to territori ke Musi Rawas, setelah sempat berkeinginan ‘lompat pagar’ ke Lubuklinggau, tentu figur muda ini punya peluang yang besar untuk ikut kontestasi, karena perahu PDIP cukup untuk mendukungnya. Memang secara basis jaringan dukungan posisi Azandri tak diuntungkan dengan petahana bupati RMS, karena agak dilematis bagi petahana. Jika di ajak berpasangan RMS-Azandri, mereka satu basis. Namun jika berseberangan, maka suara basis akan pecah.
Figur terakhir adalah Firdaus Ceolah, sebagai Ketua Golkar/Waka DPRD Mura tentu layak di pertimbangkan. Karena dari popularitas, pergerakan maupun dukungan kursi parpol relatif potensial. Tantangannya seperti periode kemarin adalah memastikan DPP Partai Golkar untuk mendukung kader internal, di samping memastikan level kontestasi sebagai bacabup atau bacawabup.
Ke-4 figur inilah yang baru terlihat sampai saat ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap banyak figur lain di Musi Rawas. Namun tentu saja, saya berkeyakinan bahwa nanti pada menjelang tahapan pilkada 2024, akan muncul figur lain (baik yang serius atau motif popularitas), untuk berpasangan atau sebagai kompetitor figur di atas.
Dengan posisi di atas, tentu susah untuk memetakan peluang kemenangan masing-masing karena sebagaimana di sebut diatas, peluang kemenangan juga di tentukan oleh antara lain parpol pendukung, pasangan, maupun siapa lawan kontestasi. Tak tertutup kemungkinan RMS berpasangan dengan FCO, Hj. Suwarti – Azandri, FCO – Azandri atau banyak kemungkinan lain yang saat ini terlalu premature untuk di baca. Catatannya adalah : ke-4 figur diatas dengan ‘modal politik’ nya bukan hanya berpeluang untuk mencalonkan diri, namun berpeluang untuk menang jika ikut kontestasi Pilkada Musi Rawas 2022.
Eka menambahkan, jikapun ada analisis kekuatan lebih pada posisi petahana Hj. Ratna Machmud yang menurut saya memenangkan pilkada lalu dengan ‘faktor keberuntungan’ dan suratan tangan yang lebih dominan. Artinya, jika strategi kemenangan dan konsolidasi tim pemenangan pilkada lalu menjadi acuan, maka cenderung memaksakan keberuntungan. Faktor dukungan ‘Nanan’ (birokrasi kota) maupun ‘faktor Kahar/Wahyu Kahar’ tak lagi bisa menjadi pegangan.
Adapun argumentasi :
1. Pada tahapan pilkada kelak Prana Sohe (Nanan) tak lagi menjadi walikota yang memiliki akses terhadap birokrasi, disamping tentu saja sampai Februari 2024 akan di sibukan dengan aktivitas kontestasi pileg 2024. Demikian juga dengan support Kahar Muzakir/Wahyu Kahar masih dalam agenda yang sama.
2. Bahwa kemenangan RMS saat itu juga dipengaruhi adanya resistensi yang kuat terhadap figur H2G, akibat dari pergerakan mantan bupati mura RM dan para pendukungnya, padahal dukungan konsolidasi birokrasi mura terhadap H2G sangat solid. Sebaliknya saat ini dukungan birokrasi terhadap Ratna Machmud belum tentu maksimal, karena pada jajaran OPD masih banyak yang menjabat dari masa H2G. Artinya tak ada garansi politik, loyalitas birokrasi akan tertuju pada petahana.
3. ‘Faktor Suwarti’ di Megang Sakti dan sekitarnya yang berkontribusi secara significant terhadap kemenangan yang bersangkutan, baik saat berpasangan dengan H2G maupun dengan RMA. Dengan pembatasan UU, maka tak mungkin lagi Hj. Suwarti sebagai bacawabup dengan RMA, maka suara megang sakti dan sekitarnya akan ‘ikut’ kemanapun dukungan Hj. Suwarti.
“Beberapa catatan di atas, saya pikir menjadi penting untuk mengukur sejauh mana peluang petahana Hj. Ratna Machmud dalam merintis kuasa di periode ke-2,” Pungkas Eka. (BI)